Penulis meminati jazz sejak akhir tahun 1970-an. Pada masa itu perusahaan rekam dengan media cassette khususnya di kota Bandung tengah menjamur. Ada perusahaan rekam asal kota Bandung sendiri, seperti Apple, Mona Lisa, Yess, Contessa, Hidayat, ada pula yang datang dari Jakarta seperti Perina dan Aquarius. Saat itu kebijakan hukum perihal hak cipta belum diterapkan di Indonesia. Murahnya harga jual rekaman musik cassette menimbulkan permintaan pasar yang tinggi. Setiap perusahaan rekam berlomba-lomba untuk menjadi perusahaan pertama yang menerbitkan artis-artis ternama dan terkemuka. Awalnya masih terpusat pada musik pop dan rock, yang memang tengah digandrungi anak-anak muda saat itu. Saat dinilai penerbitan rekaman musik pop, disco dan rock sudah mapan dan jenuh, musik jazz dan musik classic pun mulai mereka lirik. Saat inilah penulis sedikit demi sedikit mulai berkenalan dengan musik jazz. Berawal dari musik jazz yang tengah populer dan banyak diminati oleh orang kebanyakan, seperti Bob James, Dave Grusin, The Crusaders, Michael Franks, Gino Vanelli, Grover Washington Jr., hingga ke musik jazzrock/fusion seperti Billy Cobham, Chick Corea hingga Herbie Hancock.
Sesungguhnya bila ditilik baik-baik booming minat terhadap musik jazz di kota-kota besar di Indonesia terjadi pada saat hak cipta belum diterapkan. Ketika kebijakan hukum hak cipta diterapkan sekitar pertengah tahun 1980-an, banyak perusahaan-perusahaan rekam gulung tikar. Yang bertahan pun menerapkan pemilihan artis dan warna musik yang ekstra ketat dalam pemilahan untuk diterbitkan, mengingat harga jual setelah masa hak cipta diterapkan melambung sangat tinggi, dibanding sebelum penerapan hak cipta, dan ini berakibat turunnya daya beli para peminat musik dengan drastis. Pada masa ini para peminat musik jazz yang membeli cassette hanya untuk sekedar mengiringi kegiatan sehari-hari menghentikan “kebiasaan” mereka untuk membeli dan mengoleksi rekaman-rekaman cassette musik jazz. Sementara peminat musik jazz “fanatik” mulai mengurangi jumlah belanjaannya, itu pun bila artis kesukaannya dipilih oleh perusahaan rekam resmi untuk diterbitkan. Memang kekosongan pasar cassette musik jazz saat ini mulai diisi oleh cassette dan compact disc (cd) import. Namun juga harganya hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mempunyai penghasilan tetap yang tinggi. Terlebih lagi dengan rekaman video musik Laser Disc (LD). Dan ini dialami oleh banyak kenalan dan teman-teman penulis. “Banyak” di sini pun bukan berarti puluhan apalagi ratusan orang, tetapi cukup tiga hingga lima orang saja.
Pada masa-masa “kosong” ini, ada saat-saat penulis beruntung berkenalan dengan orang-orang yang memiliki beberapa koleksi cd maupun LD yang terbilang langka ini (karena perusahaan rekam di Indonesia dengan pertimbangan kekuatan penjualannya yang tidak kuat, enggan atau ragu-ragu untuk membeli hak ciptanya). Saat penulis mendengar dan kadang juga menyaksikan rekaman-rekaman cd dan LD ini, penulis langsung teringat kepada beberapa orang teman penulis di atas. Membayangkan akan mengasyikan jadinya bila penulis dan semua teman-teman penyuka jazz (yang terhenti proses apresiasinya karena kondisi keuangan) bisa turut menyaksikannya bersama sambil berwacana perihal musik jazz yang langka.
Saat itulah gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan kecil peminat jazz tercetus. Gagasan yang tercetus di sekitar pertengahan tahun 1990-an ini, awal tahun 2000 nyaris terealisir, saat penulis tergabung dalam sebuah komunitas pemerhati seni dan budaya (walau banyak di antara mereka adalah praktisi arsitektur) bernama Trimatra. Gagasan ini pun tercetus hanya karena penulis melihat pemutar LD (Laser Disc Player) yang tersedia di tempat ini jarang digunakan. Sayangnya komunitas yang berlokasi di Jalan Ir. H. Juanda ini pun tidak berumur panjang.
Di Trimatra inilah penulis berkenalan dengan Tarlen Handayani. Di tempat ini juga bersama Tarlen penulis membantu mengaktifkan kembali Klab Baca, yang sebelumnya kerap diselenggarakan oleh Tarlen di sebuah café kecil di Tubagus Ismail. Pada perjalanannya, Tarlen kemudian mengisi sebuah ruang di Trimatra untuk dijadikan Toko Buku Kecil (Tobucil). Saat Trimatra harus tutup di pertengahan tahun 2002, atas ajakan Bung Gustaff H. Iskandar, Tobucil kemudian dipindahkan ke Jl. Kyai Gede Utama no. 8.
Tahun 2003, saat penulis tengah aktif-aktifnya di sebuah balai reiki, penulis berkesempatan bertemu kembali dengan Tarlen. Ketika itu gagasan mendirikan klab pertemuan bagi para peminat musik jazz di lokasi Tobucil yang baru, sempat juga disinggung. Baru setelah penulis bertemu dengan Om Dib (Sudibyo PR), yang datang ke balai reiki untuk berobat, gagasan merealisasikan klab jazz digodok masak-masak. Setelah melalui banyak pertimbangan dan bekal konsep yang dinilai cukup, Klab Jazz pun diaktifkan, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2004.
Dwi Cahya Yuniman
[Pendiri & Koordinator Utama KlabJazz]
Jumat, 13 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
halo mas Dwi Cahya,
BalasHapusbaru tahu ada klab jazz bandung..
pak Dib itu dosen saya
klab jazz ultahnya 9 mei ya? sama ma ultah saya dong.. :D