1. SEBUAH QUARTET DI RUMAH BUKU. Untuk pertama kalinya KlabJazz menyelenggarakan pertunjukan musik di luar tempat pertemuan. Menampilkan Krishnan Mohamad, Hery Wijaya, Adjierao dan Tatang, diselenggarakan pada tanggal 1 Agustus 2004 di Rumah Buku, Jl. Hegarmanah, sebagai bagian acara komunitas buku, Book Day’s Out.
>> Catatan Selengkapnya
__________
2. JAZZSPHERE@ARTSPACE diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Space pada tanggal 2 Oktober 2004, menampilkan kelompok progressive jazz Jakarta; simakDialog. Merupakan ajang pertunjukan berskala besar PERTAMA yang diselenggarakan oleh KlabJazz. Dengan OpeningAct Krishnan Mohamad Project.
>> Catatan Selengkapnya
__________
3. BANDUNG JAZZ STATEMENT di Common Room, merupakan peristiwa jazz yang untuk pertama kalinya melibatkan hampir semua musisi jazz yang berdomisili di Bandung pada tanggal 25 Desember 2004, di antaranya IMAM PRAS QUARTET, IMEL & FRIENDS, TIWI SHAKUHACHI, THE STATEMENT, MICHELLE EFFERIN QUARTET, 4 ON 6 feat. ALDHIELLA, BANDUNG STRING TRIO, WHISPER NOT, KRISHNAN MOHAMAD PROJECT, F.A.K.T.A., dll. Acara ini merupakan bagian dari acara OPEN HOUSE COMMON ROOM.
..........
Setelah pertemuan ini usaha mengumpulkan musisi jazz se Bandung terasa jauh lebih mudah.
Jumat, 13 November 2009
Asal Muasal
Share
Penulis meminati jazz sejak akhir tahun 1970-an. Pada masa itu perusahaan rekam dengan media cassette khususnya di kota Bandung tengah menjamur. Ada perusahaan rekam asal kota Bandung sendiri, seperti Apple, Mona Lisa, Yess, Contessa, Hidayat, ada pula yang datang dari Jakarta seperti Perina dan Aquarius. Saat itu kebijakan hukum perihal hak cipta belum diterapkan di Indonesia. Murahnya harga jual rekaman musik cassette menimbulkan permintaan pasar yang tinggi. Setiap perusahaan rekam berlomba-lomba untuk menjadi perusahaan pertama yang menerbitkan artis-artis ternama dan terkemuka. Awalnya masih terpusat pada musik pop dan rock, yang memang tengah digandrungi anak-anak muda saat itu. Saat dinilai penerbitan rekaman musik pop, disco dan rock sudah mapan dan jenuh, musik jazz dan musik classic pun mulai mereka lirik. Saat inilah penulis sedikit demi sedikit mulai berkenalan dengan musik jazz. Berawal dari musik jazz yang tengah populer dan banyak diminati oleh orang kebanyakan, seperti Bob James, Dave Grusin, The Crusaders, Michael Franks, Gino Vanelli, Grover Washington Jr., hingga ke musik jazzrock/fusion seperti Billy Cobham, Chick Corea hingga Herbie Hancock.
Sesungguhnya bila ditilik baik-baik booming minat terhadap musik jazz di kota-kota besar di Indonesia terjadi pada saat hak cipta belum diterapkan. Ketika kebijakan hukum hak cipta diterapkan sekitar pertengah tahun 1980-an, banyak perusahaan-perusahaan rekam gulung tikar. Yang bertahan pun menerapkan pemilihan artis dan warna musik yang ekstra ketat dalam pemilahan untuk diterbitkan, mengingat harga jual setelah masa hak cipta diterapkan melambung sangat tinggi, dibanding sebelum penerapan hak cipta, dan ini berakibat turunnya daya beli para peminat musik dengan drastis. Pada masa ini para peminat musik jazz yang membeli cassette hanya untuk sekedar mengiringi kegiatan sehari-hari menghentikan “kebiasaan” mereka untuk membeli dan mengoleksi rekaman-rekaman cassette musik jazz. Sementara peminat musik jazz “fanatik” mulai mengurangi jumlah belanjaannya, itu pun bila artis kesukaannya dipilih oleh perusahaan rekam resmi untuk diterbitkan. Memang kekosongan pasar cassette musik jazz saat ini mulai diisi oleh cassette dan compact disc (cd) import. Namun juga harganya hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mempunyai penghasilan tetap yang tinggi. Terlebih lagi dengan rekaman video musik Laser Disc (LD). Dan ini dialami oleh banyak kenalan dan teman-teman penulis. “Banyak” di sini pun bukan berarti puluhan apalagi ratusan orang, tetapi cukup tiga hingga lima orang saja.
Pada masa-masa “kosong” ini, ada saat-saat penulis beruntung berkenalan dengan orang-orang yang memiliki beberapa koleksi cd maupun LD yang terbilang langka ini (karena perusahaan rekam di Indonesia dengan pertimbangan kekuatan penjualannya yang tidak kuat, enggan atau ragu-ragu untuk membeli hak ciptanya). Saat penulis mendengar dan kadang juga menyaksikan rekaman-rekaman cd dan LD ini, penulis langsung teringat kepada beberapa orang teman penulis di atas. Membayangkan akan mengasyikan jadinya bila penulis dan semua teman-teman penyuka jazz (yang terhenti proses apresiasinya karena kondisi keuangan) bisa turut menyaksikannya bersama sambil berwacana perihal musik jazz yang langka.
Saat itulah gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan kecil peminat jazz tercetus. Gagasan yang tercetus di sekitar pertengahan tahun 1990-an ini, awal tahun 2000 nyaris terealisir, saat penulis tergabung dalam sebuah komunitas pemerhati seni dan budaya (walau banyak di antara mereka adalah praktisi arsitektur) bernama Trimatra. Gagasan ini pun tercetus hanya karena penulis melihat pemutar LD (Laser Disc Player) yang tersedia di tempat ini jarang digunakan. Sayangnya komunitas yang berlokasi di Jalan Ir. H. Juanda ini pun tidak berumur panjang.
Di Trimatra inilah penulis berkenalan dengan Tarlen Handayani. Di tempat ini juga bersama Tarlen penulis membantu mengaktifkan kembali Klab Baca, yang sebelumnya kerap diselenggarakan oleh Tarlen di sebuah café kecil di Tubagus Ismail. Pada perjalanannya, Tarlen kemudian mengisi sebuah ruang di Trimatra untuk dijadikan Toko Buku Kecil (Tobucil). Saat Trimatra harus tutup di pertengahan tahun 2002, atas ajakan Bung Gustaff H. Iskandar, Tobucil kemudian dipindahkan ke Jl. Kyai Gede Utama no. 8.
Tahun 2003, saat penulis tengah aktif-aktifnya di sebuah balai reiki, penulis berkesempatan bertemu kembali dengan Tarlen. Ketika itu gagasan mendirikan klab pertemuan bagi para peminat musik jazz di lokasi Tobucil yang baru, sempat juga disinggung. Baru setelah penulis bertemu dengan Om Dib (Sudibyo PR), yang datang ke balai reiki untuk berobat, gagasan merealisasikan klab jazz digodok masak-masak. Setelah melalui banyak pertimbangan dan bekal konsep yang dinilai cukup, Klab Jazz pun diaktifkan, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2004.
Dwi Cahya Yuniman
[Pendiri & Koordinator Utama KlabJazz]
Sesungguhnya bila ditilik baik-baik booming minat terhadap musik jazz di kota-kota besar di Indonesia terjadi pada saat hak cipta belum diterapkan. Ketika kebijakan hukum hak cipta diterapkan sekitar pertengah tahun 1980-an, banyak perusahaan-perusahaan rekam gulung tikar. Yang bertahan pun menerapkan pemilihan artis dan warna musik yang ekstra ketat dalam pemilahan untuk diterbitkan, mengingat harga jual setelah masa hak cipta diterapkan melambung sangat tinggi, dibanding sebelum penerapan hak cipta, dan ini berakibat turunnya daya beli para peminat musik dengan drastis. Pada masa ini para peminat musik jazz yang membeli cassette hanya untuk sekedar mengiringi kegiatan sehari-hari menghentikan “kebiasaan” mereka untuk membeli dan mengoleksi rekaman-rekaman cassette musik jazz. Sementara peminat musik jazz “fanatik” mulai mengurangi jumlah belanjaannya, itu pun bila artis kesukaannya dipilih oleh perusahaan rekam resmi untuk diterbitkan. Memang kekosongan pasar cassette musik jazz saat ini mulai diisi oleh cassette dan compact disc (cd) import. Namun juga harganya hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mempunyai penghasilan tetap yang tinggi. Terlebih lagi dengan rekaman video musik Laser Disc (LD). Dan ini dialami oleh banyak kenalan dan teman-teman penulis. “Banyak” di sini pun bukan berarti puluhan apalagi ratusan orang, tetapi cukup tiga hingga lima orang saja.
Pada masa-masa “kosong” ini, ada saat-saat penulis beruntung berkenalan dengan orang-orang yang memiliki beberapa koleksi cd maupun LD yang terbilang langka ini (karena perusahaan rekam di Indonesia dengan pertimbangan kekuatan penjualannya yang tidak kuat, enggan atau ragu-ragu untuk membeli hak ciptanya). Saat penulis mendengar dan kadang juga menyaksikan rekaman-rekaman cd dan LD ini, penulis langsung teringat kepada beberapa orang teman penulis di atas. Membayangkan akan mengasyikan jadinya bila penulis dan semua teman-teman penyuka jazz (yang terhenti proses apresiasinya karena kondisi keuangan) bisa turut menyaksikannya bersama sambil berwacana perihal musik jazz yang langka.
Saat itulah gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan kecil peminat jazz tercetus. Gagasan yang tercetus di sekitar pertengahan tahun 1990-an ini, awal tahun 2000 nyaris terealisir, saat penulis tergabung dalam sebuah komunitas pemerhati seni dan budaya (walau banyak di antara mereka adalah praktisi arsitektur) bernama Trimatra. Gagasan ini pun tercetus hanya karena penulis melihat pemutar LD (Laser Disc Player) yang tersedia di tempat ini jarang digunakan. Sayangnya komunitas yang berlokasi di Jalan Ir. H. Juanda ini pun tidak berumur panjang.
Di Trimatra inilah penulis berkenalan dengan Tarlen Handayani. Di tempat ini juga bersama Tarlen penulis membantu mengaktifkan kembali Klab Baca, yang sebelumnya kerap diselenggarakan oleh Tarlen di sebuah café kecil di Tubagus Ismail. Pada perjalanannya, Tarlen kemudian mengisi sebuah ruang di Trimatra untuk dijadikan Toko Buku Kecil (Tobucil). Saat Trimatra harus tutup di pertengahan tahun 2002, atas ajakan Bung Gustaff H. Iskandar, Tobucil kemudian dipindahkan ke Jl. Kyai Gede Utama no. 8.
Tahun 2003, saat penulis tengah aktif-aktifnya di sebuah balai reiki, penulis berkesempatan bertemu kembali dengan Tarlen. Ketika itu gagasan mendirikan klab pertemuan bagi para peminat musik jazz di lokasi Tobucil yang baru, sempat juga disinggung. Baru setelah penulis bertemu dengan Om Dib (Sudibyo PR), yang datang ke balai reiki untuk berobat, gagasan merealisasikan klab jazz digodok masak-masak. Setelah melalui banyak pertimbangan dan bekal konsep yang dinilai cukup, Klab Jazz pun diaktifkan, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2004.
Dwi Cahya Yuniman
[Pendiri & Koordinator Utama KlabJazz]
Misi
Share
• Memasyarakatkan musik jazz, dengan prioritas kepada masyarakat musik kota Bandung, masyarakat jazz khususnya.
• Menciptakan wahana diskusi musik jazz yang berkesinambungan,
• Mendorong terciptanya kelompok-kelompok musik jazz baru (di antaranya membantu mitra/rekan-rekan mahasiswa menyelenggarakan Jazz Audition/Jazz Competition).
• Menciptakan ruang bermain bagi para pemusik jazz.
• Memotivasi anak-anak didik sekolah musik untuk meniti karir dalam musik jazz agar tercipta kaderisasi pemusik jazz untuk generasi musik berikutnya.
• Membangun kerjasama dengan sesama komunitas jazz, dengan kelompok musik jazz, dengan para penyelenggara pertunjukan musik jazz, di kota Bandung khususnya, dan di Indonesia (Seperti dengan Komunitas Jazz Kemayoran dan E.O. Java Festival Production, penyelenggara Jakarta International Java Jazz Festival).
• Membangun kerjasama dengan sesama komunitas seni, baik seni musik non jazz, maupun seni dalam pengertian yang lebih luas; seni rupa, seni grafis, seni sastra, seni tari dlsb.
• Membangun bank data kegiatan bermusik jazz; foto, rekaman audio dan rekaman video. Dimulai dengan data-data hasil pendokumentasian setiap kegiatan/pertunjukan musik jazz yang diselenggarakan oleh KlabJazz.
• Mendirikan semacam Pusat Informasi Jazz atau Pusat Kegiatan KlabJazz yang akan dinamakan dengan Wisma Jazz.
Pendeknya mencoba membangun dunia masyarakat jazz yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia masyarakat seni Indonesia pada umumnya. Tentunya masyarakat yang sehat, yang pada gilirannya dapat mendorong motivasi pemusik/pelaku seninya, para penyelenggara pertunjukannya, para penyelenggara lembaga-lembaga pendidikan musik/seni dan para pelaku industri musik/seni nya secara keseluruhan.
• Menciptakan wahana diskusi musik jazz yang berkesinambungan,
• Mendorong terciptanya kelompok-kelompok musik jazz baru (di antaranya membantu mitra/rekan-rekan mahasiswa menyelenggarakan Jazz Audition/Jazz Competition).
• Menciptakan ruang bermain bagi para pemusik jazz.
• Memotivasi anak-anak didik sekolah musik untuk meniti karir dalam musik jazz agar tercipta kaderisasi pemusik jazz untuk generasi musik berikutnya.
• Membangun kerjasama dengan sesama komunitas jazz, dengan kelompok musik jazz, dengan para penyelenggara pertunjukan musik jazz, di kota Bandung khususnya, dan di Indonesia (Seperti dengan Komunitas Jazz Kemayoran dan E.O. Java Festival Production, penyelenggara Jakarta International Java Jazz Festival).
• Membangun kerjasama dengan sesama komunitas seni, baik seni musik non jazz, maupun seni dalam pengertian yang lebih luas; seni rupa, seni grafis, seni sastra, seni tari dlsb.
• Membangun bank data kegiatan bermusik jazz; foto, rekaman audio dan rekaman video. Dimulai dengan data-data hasil pendokumentasian setiap kegiatan/pertunjukan musik jazz yang diselenggarakan oleh KlabJazz.
• Mendirikan semacam Pusat Informasi Jazz atau Pusat Kegiatan KlabJazz yang akan dinamakan dengan Wisma Jazz.
Pendeknya mencoba membangun dunia masyarakat jazz yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia masyarakat seni Indonesia pada umumnya. Tentunya masyarakat yang sehat, yang pada gilirannya dapat mendorong motivasi pemusik/pelaku seninya, para penyelenggara pertunjukannya, para penyelenggara lembaga-lembaga pendidikan musik/seni dan para pelaku industri musik/seni nya secara keseluruhan.
Visi
Share
J A Z Z , seperti halnya beragam bentuk media ekspresi berkesenian seperti; Musik Gamelan, Tari Topeng, Musik Klasik, Wayang Orang, Waltz, Tari Bali, yang lahir dari dari gagasan/kreasi sekelompok atau individu anggota/warga masyarakat “terpilih” di salah satu belahan muka Bumi ini terdahulu, sesungguhnyalah MERUPAKAN WARISAN YANG SAH BAGI SELURUH WARGA MASYARAKAT DUNIA , untuk masa kini dan di kemudian hari. Oleh karenanya, sudah waktunya kita membongkar sekat-sekat pembeda yang dapat menimbulkan poros-poros Barat-Timur, Utara-Selatan, Maju-Berkembang, Amerika-Non Amerika, Kristen-Islam, dan yang lainnya yang sekiranya dapat menghambat sekelompok warga masyarakat tertentu untuk memanfaatkan hasil-hasil karya para warga terdahulu untuk kemaslahatan seluruh umat di dunia ini.
Ini perlu diungkapkan karena salah satu faktor kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang giat di musik jazz Indonesia adalah adanya anggapan orang kebanyakan bahwasanya musik jazz adalah musiknya orang Amerika, orang barat dan bukanlah musik milik bangsa Indonesia yang harus susah payah ditumbuhkembangkan. Walau di permukaan yang mencuat adalah “musik jazz adalah musiknya orang elite, intelek dan eksklusif”, yang tentu saja tidak sepenuhnya benar. Oleh karenanya KlabJazz melalui program-programnya bertekad untuk menjadikan musik jazz ini sebagai salahsatu bentuk berkesenian yang sah bagi setiap warga negara Republik kita tercinta ini.
Dan KlabJazz akan terus mengkampanyekannya….!!
Ini perlu diungkapkan karena salah satu faktor kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang giat di musik jazz Indonesia adalah adanya anggapan orang kebanyakan bahwasanya musik jazz adalah musiknya orang Amerika, orang barat dan bukanlah musik milik bangsa Indonesia yang harus susah payah ditumbuhkembangkan. Walau di permukaan yang mencuat adalah “musik jazz adalah musiknya orang elite, intelek dan eksklusif”, yang tentu saja tidak sepenuhnya benar. Oleh karenanya KlabJazz melalui program-programnya bertekad untuk menjadikan musik jazz ini sebagai salahsatu bentuk berkesenian yang sah bagi setiap warga negara Republik kita tercinta ini.
Dan KlabJazz akan terus mengkampanyekannya….!!
Logo Klab Jazz
Share
Sebagian dari logo KlabJazz diilhami dari sebuah sampul album milik Bob James; Bob James Trio. Posisi letak instrumen piano grand, bass akustik dan set drum kecil, dengan bentuk masing-masing instrumennya yang eksotik, tampak anggun dan sanggup mencerminkan imaji jazz yang diidam-idamkan oleh KlabJazz. Selebihnya pada saat itu belum bisa diterangkan secara memuaskan mengapa dipilih trio instrumen di atas sebagai pelengkap teks Klab Jazz pada logonya. Baru ketika membuka album trionya Chick Corea terbitan tahun 2001, The Chick Corea New Trio; Past, Present & Futures, Chick Corea secara tidak langsung membantu menjelaskan mengapa KlabJazz kepincut dengan format trio di atas;

The piano, bass and drums trio is the heart and soul of the jazz sound. - Chick Corea
Hal lain yang menyebabkan KlabJazz memilih instrumen piano grand, bass akustik pada logonya adalah sebagai manifestasi untuk “mengedepankan kembali penggunaan instrumen akustik” dalam bermain musik jazz di Indonesia, setelah lama tersisihkan oleh perangkat elektronik.

The piano, bass and drums trio is the heart and soul of the jazz sound. - Chick Corea
Hal lain yang menyebabkan KlabJazz memilih instrumen piano grand, bass akustik pada logonya adalah sebagai manifestasi untuk “mengedepankan kembali penggunaan instrumen akustik” dalam bermain musik jazz di Indonesia, setelah lama tersisihkan oleh perangkat elektronik.
Klab Jazz
Share
KlabJazz adalah sebuah perkumpulan sekelompok kecil peminat musik jazz yang mengemban dirinya dengan misi memasyarakatkan musik jazz melalui beragam kegiatan.
Gagasan KlabJazz dilontarkan Oleh Dwi Cahya Yuniman (yang didukung sepenuhnya oleh alm. Sudibyo PR., seorang pakar sejarah jazz nasional dan Yongky Nusantara, juga seorang pakar dan veteran pianis jazz senior kota Bandung) kepada Tarlen Handayani, pendiri dan pengurus utama Toko Buku Kecil (Tobucil) yang berpangkalan di Jl. Kyai Gede Utama no.8. Di tempat mana telah berdiri kelompok-kelompok (klab-klab) peminat sastra, seni dan budaya lainnya, seperti; Klab Baca, Klab Nulis, Klab Nonton dan bahkan Klab Hobby seperti merajut. (Beberapa bulan kemudian tempat di Jl. Kyai Gede Utama no. 8 ini memperkenalkan dirinya dengan Common Room).
Di Jl. Kyai Gede utama no. 8 inilah pertemuan KlabJazz perdana diselenggarakan. Tepatnya pada tanggal 9 Mei 2004. Awalnya hanya untuk sekedar berkumpul, diskusi kecil, mendengarkan rekaman bersama, nonton video jazz bersama, hingga kemudian berkembang menyelenggarakan workshop beberapa musisi jazz Bandung, Kelas Jazz Terbuka alm. Bpk. Sudibyo P.R., mengurai riwayat jazz dari era ragtime hingga jazzrock di bulan September 2004, hingga diskusi berskala menengah “Perempuan dalam Jazz” bersama pianis/vokalis Imel Rosalin, “Sorot Intrumen Jazz; Biola” bersama penggesek biola Ammy C. Kurniawan, “Jazz dan Fotografi”, “Jazz dan Senirupa”, “What is Jazz?” hingga beragam usaha pertunjukan musik jazz.
__________
Sejak bulan September 2006, karena satu dan lain hal, pertemuan mingguan KlabJazz tidak lagi diselenggarakan di Common Room. Dan hingga saat ini KlabJazz masih belum menemukan tempat baru sebagai penggantinya.
Gagasan KlabJazz dilontarkan Oleh Dwi Cahya Yuniman (yang didukung sepenuhnya oleh alm. Sudibyo PR., seorang pakar sejarah jazz nasional dan Yongky Nusantara, juga seorang pakar dan veteran pianis jazz senior kota Bandung) kepada Tarlen Handayani, pendiri dan pengurus utama Toko Buku Kecil (Tobucil) yang berpangkalan di Jl. Kyai Gede Utama no.8. Di tempat mana telah berdiri kelompok-kelompok (klab-klab) peminat sastra, seni dan budaya lainnya, seperti; Klab Baca, Klab Nulis, Klab Nonton dan bahkan Klab Hobby seperti merajut. (Beberapa bulan kemudian tempat di Jl. Kyai Gede Utama no. 8 ini memperkenalkan dirinya dengan Common Room).
Di Jl. Kyai Gede utama no. 8 inilah pertemuan KlabJazz perdana diselenggarakan. Tepatnya pada tanggal 9 Mei 2004. Awalnya hanya untuk sekedar berkumpul, diskusi kecil, mendengarkan rekaman bersama, nonton video jazz bersama, hingga kemudian berkembang menyelenggarakan workshop beberapa musisi jazz Bandung, Kelas Jazz Terbuka alm. Bpk. Sudibyo P.R., mengurai riwayat jazz dari era ragtime hingga jazzrock di bulan September 2004, hingga diskusi berskala menengah “Perempuan dalam Jazz” bersama pianis/vokalis Imel Rosalin, “Sorot Intrumen Jazz; Biola” bersama penggesek biola Ammy C. Kurniawan, “Jazz dan Fotografi”, “Jazz dan Senirupa”, “What is Jazz?” hingga beragam usaha pertunjukan musik jazz.
__________
Sejak bulan September 2006, karena satu dan lain hal, pertemuan mingguan KlabJazz tidak lagi diselenggarakan di Common Room. Dan hingga saat ini KlabJazz masih belum menemukan tempat baru sebagai penggantinya.
Langganan:
Postingan (Atom)